oleh : Akhmad Sudrajat
judul asli :Teori-Teori Belajar
alamat situs :http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/02/teori-teori-belajar/
Jika menelaah literatur psikologi, kita akan menemukan banyak teori belajar yang bersumber dari aliran-aliran psikologi. Dalam tautan di bawah ini akan dikemukakan empat jenis teori belajar, yaitu: (A) teori behaviorisme; (B) teori belajar kognitif menurut Piaget; (C) teori pemrosesan informasi dari Gagne, dan (D) teori belajar gestalt.
Teori-Teori Belajar
A. Teori Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :
1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus – Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
* Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
* Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
* Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
* Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
3. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
* Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
* Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
4. Social Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.
B. Teori Belajar Kognitif menurut Piaget
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation”
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
C. Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.
D. Teori Belajar Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :
1. Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
2. Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
3. Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
4. Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
5. Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
6. Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.
Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
1. Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
2. Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
3. Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
4. Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.
Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
1. Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
2. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
3. Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
4. Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
5. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.
Senin, 23 Agustus 2010
Jumat, 01 Januari 2010
function group_chemistry
Functional Groups
Such a huge number of organic compounds requires organization. They are sorted into organic families defined by functional groups. Functional groups are small structural units within molecules at which most of the compound's chemical reactions occur.
For example, two of the most important families are the alcohols and the carboxylic acids. Their functional groups, the alcohol group and the carboxyl group, respectively, distinguishes them from the rest of the other types of organic compounds.
Characterization
Since organic compounds often exist as mixtures, a variety of techniques have also been developed to assess purity, especially important being chromatography techniques such as HPLC and gas chromatography. Traditional methods of separation include distillation, crystallization, and solvent extraction.
Organic compounds were traditionally characterized by a variety of chemical tests, called "wet methods," but such tests have been largely displaced by spectroscopic or other computer-intensive methods of analysis.[4] Listed in approximate order of utility, the chief analytical methods are:
• Nuclear magnetic resonance (NMR) spectroscopy is the most commonly used technique, often permitting complete assignment of atom connectivity and even stereochemistry using correlation spectroscopy. The principle constituent atoms of organic chemistry - hydrogen and carbon - exist naturally with NMR-responsive isotopes, respectively 1H and 13C.
• Elemental analysis: A destructive method used to determine the elemental composition of a molecule. See also mass spectrometry, below.
• Mass spectrometry indicates the molecular weight of a compound and, from the fragmentation patterns, its structure. High resolution mass spectrometry can usually identify the exact formula of a compound and is used in lieu of elemental analysis. In former times, mass spectrometry was restricted to neutral molecules exhibiting some volatility, but advanced ionization techniques allows one to obtain the "mass spec" of virtually any organic compound.
• Crystallography is an unambiguous method for determining molecular geometry, the proviso being that single crystals of the material must be available and the crystal must be representative of the sample. Highly automated software allowing a structure to be determined within hours of obtaining a suitable crystal.
Traditional spectroscopic methods such as infrared spectroscopy, optical rotation, UV/VIS spectroscopy provide relatively nonspecific structural information but remain in use for specific classes of compounds.
Properties
Physical properties of organic compounds typically of interest include both quantitative and qualitative features. Quantitative information include melting point, boiling point, and index of refraction. Qualitative properties include odor, solubility, and color.
Melting and boiling properties
In contrast to many inorganic materials, organic compounds typically melt and many boil. In earlier times, the melting point (m.p.) and boiling point (b.p.) provided crucial information on the purity and identity of organic compounds. The melting and boiling points correlate with the polarity of the molecules and their molecular weight. Some organic compounds, especially symmetrical ones, sublime, that is they evaporate without melting. A well known example of a sublimable organic compound is para-dichlorobenzene, the odiferous constituent of mothballs. Organic compounds are usually not very stable at temperatures above 300 °C, although some exceptions exist.
Color
Organic compounds are typically colorless or white. The situation is quite different for organic compounds that contain several adjacent multiple bonds. These compounds, where the double bonds are "conjugated" can be deeply colored. The biological pigments carotene and heme illustrate the relationship between "conjugation" and color. Impure organic compounds, as well as many biological materials, often are yellow or brownish owing to the presence of trace amounts of intensely colored impurities.
Solubility
Neutral organic compounds tend to be hydrophobic, that is they are less soluble in water than in organic solvents. Exceptions include organic compounds that contain ionizable groups as well as low molecular weight alcohols, amines, and carboxylic acids where hydrogen bonding occurs. Organic compounds tend to dissolve in organic solvents. Solvents can be either pure substances like ether or ethyl alcohol, or mixtures, such as the paraffinic solvents such as the various petroleum ethers and white spirits, or the range of pure or mixed aromatic solvents obtained from petroleum or tar fractions by physical separation or by chemical conversion. Solubility in the different solvents depends upon the solvent type and on the functional groups if present.
Solid state properties
Various specialized properties are of interest depending on applications, e.g. thermo-mechanical and electro-mechanical such as piezoelectricity, electrical conductivity (see organic metals), and electro-optical (e.g. non-linear optics) properties. For historical reasons, such properties are mainly the subjects of the areas of polymer science and materials science.
Such a huge number of organic compounds requires organization. They are sorted into organic families defined by functional groups. Functional groups are small structural units within molecules at which most of the compound's chemical reactions occur.
For example, two of the most important families are the alcohols and the carboxylic acids. Their functional groups, the alcohol group and the carboxyl group, respectively, distinguishes them from the rest of the other types of organic compounds.
Characterization
Since organic compounds often exist as mixtures, a variety of techniques have also been developed to assess purity, especially important being chromatography techniques such as HPLC and gas chromatography. Traditional methods of separation include distillation, crystallization, and solvent extraction.
Organic compounds were traditionally characterized by a variety of chemical tests, called "wet methods," but such tests have been largely displaced by spectroscopic or other computer-intensive methods of analysis.[4] Listed in approximate order of utility, the chief analytical methods are:
• Nuclear magnetic resonance (NMR) spectroscopy is the most commonly used technique, often permitting complete assignment of atom connectivity and even stereochemistry using correlation spectroscopy. The principle constituent atoms of organic chemistry - hydrogen and carbon - exist naturally with NMR-responsive isotopes, respectively 1H and 13C.
• Elemental analysis: A destructive method used to determine the elemental composition of a molecule. See also mass spectrometry, below.
• Mass spectrometry indicates the molecular weight of a compound and, from the fragmentation patterns, its structure. High resolution mass spectrometry can usually identify the exact formula of a compound and is used in lieu of elemental analysis. In former times, mass spectrometry was restricted to neutral molecules exhibiting some volatility, but advanced ionization techniques allows one to obtain the "mass spec" of virtually any organic compound.
• Crystallography is an unambiguous method for determining molecular geometry, the proviso being that single crystals of the material must be available and the crystal must be representative of the sample. Highly automated software allowing a structure to be determined within hours of obtaining a suitable crystal.
Traditional spectroscopic methods such as infrared spectroscopy, optical rotation, UV/VIS spectroscopy provide relatively nonspecific structural information but remain in use for specific classes of compounds.
Properties
Physical properties of organic compounds typically of interest include both quantitative and qualitative features. Quantitative information include melting point, boiling point, and index of refraction. Qualitative properties include odor, solubility, and color.
Melting and boiling properties
In contrast to many inorganic materials, organic compounds typically melt and many boil. In earlier times, the melting point (m.p.) and boiling point (b.p.) provided crucial information on the purity and identity of organic compounds. The melting and boiling points correlate with the polarity of the molecules and their molecular weight. Some organic compounds, especially symmetrical ones, sublime, that is they evaporate without melting. A well known example of a sublimable organic compound is para-dichlorobenzene, the odiferous constituent of mothballs. Organic compounds are usually not very stable at temperatures above 300 °C, although some exceptions exist.
Color
Organic compounds are typically colorless or white. The situation is quite different for organic compounds that contain several adjacent multiple bonds. These compounds, where the double bonds are "conjugated" can be deeply colored. The biological pigments carotene and heme illustrate the relationship between "conjugation" and color. Impure organic compounds, as well as many biological materials, often are yellow or brownish owing to the presence of trace amounts of intensely colored impurities.
Solubility
Neutral organic compounds tend to be hydrophobic, that is they are less soluble in water than in organic solvents. Exceptions include organic compounds that contain ionizable groups as well as low molecular weight alcohols, amines, and carboxylic acids where hydrogen bonding occurs. Organic compounds tend to dissolve in organic solvents. Solvents can be either pure substances like ether or ethyl alcohol, or mixtures, such as the paraffinic solvents such as the various petroleum ethers and white spirits, or the range of pure or mixed aromatic solvents obtained from petroleum or tar fractions by physical separation or by chemical conversion. Solubility in the different solvents depends upon the solvent type and on the functional groups if present.
Solid state properties
Various specialized properties are of interest depending on applications, e.g. thermo-mechanical and electro-mechanical such as piezoelectricity, electrical conductivity (see organic metals), and electro-optical (e.g. non-linear optics) properties. For historical reasons, such properties are mainly the subjects of the areas of polymer science and materials science.
Langganan:
Komentar (Atom)